Digitalisasi. Apa sih sebenarnya? Seperlu apa manufaktur untuk bertransformasi digital?
Sudah genap satu tahun kita berada di tengah pandemi. Sudah setahun juga istilah digitalisasi disebut di mana-mana, apalagi di kuartal awal pandemi. Faktanya, istilah digitalisasi dan transformasi digital memang jadi lebih sering dibahas sejak pandemi. Jika kita tengok pencarian di google trend, popularitas kedua istilah ini naik tajam sejak awal 2020.
Saat awal pandemi, digitalisasi disebut-sebut sebagai "jalan keluar" untuk bisa menghadapi krisis. Banyak manufaktur berbondong-bondong go digital terutama digitalisasi shop floor. Tapi banyak pula industri manufaktur yang memilih tidak melakukannya. Padahal sebenarnya mereka memiliki kapasitas yang memadai dari segi infrastruktur dan anggaran.
"Tapi perusahaan saya masih bisa bertahan meskipun tanpa digitalisasi shop floor. Apakah masih tetap perlu?"
Digitalisasi bukan hanya digunakan sebagai "strategi bertahan" bagi manufaktur yang hampir kolaps. Jika digitalisasi hanya untuk itu, lantas kenapa perusahaan-perusahaan manufaktur raksasa seperti BMW, Nestle, dan P&G melakukan transformasi digital di lantai produksinya?
Meski tampak mengintimidasi di awal, digitalisasi sebenarnya adalah modernisasi bisnis agar bisa tetap kompetitif dan bertahan di tengah persaingan. Mendigitalisasi shop floor bisa jadi digitalisasi proses monitoring, QC, atau analisa kondisi mesin. Contoh digitalisasi shop floor sederhana misalnya mengubah proses pencatatan yang awalnya dilakukan secara manual oleh manusia dengan pena dan kertas menjadi pencatatan dengan input data ke sistem, atau bahkan otomatis dengan bantuan sensor. Bukan menggantikan peran manusia, namun mempermudah dan mempercepat pekerjaan. Alih-alih sibuk mencatat status mesin setiap saat, waktu yang ada bisa digunakan untuk melakukan improvement.
Belum lagi kondisi global yang berubah akibat COVID-19. Tidak dipungkiri bahwa industri manufaktur semakin dituntut untuk melakukan produksi yang lebih efisien guna memangkas biaya sembari tetap memiliki nilai tambah. Nah di sini peran teknologi harus kita maksimalkan. Teknologi kini menjadi salah satu nilai tambah utama perusahaan di seluruh dunia. Melakukan transformasi digital berarti memaksimalkan penggunaan teknologi baru untuk menghubungkan perangkat dan mesin, mengurangi proses manual dan peluang human error, serta membuat kumpulan data berharga yang bisa meningkatkan kemampuan Anda untuk membuat keputusan bisnis yang lebih baik.
Penelitian terbaru McKinsey menunjukkan bahwa perusahaan yang menetapkan target transformasi bruto pada 75% dari pendapatan tambahan (atau lebih tinggi) lebih cenderung menciptakan nilai dengan cara yang berkelanjutan.
Mungkin saat ini Anda masih merasa tidak ada masalah dengan proses yang sekarang. Tapi, bagaimana keberlanjutan bisnis Anda? Strategi apa yang Anda siapkan untuk menghadapi perubahan pasar dan perilaku konsumen? Bagaimana jika di masa depan kita dihadapkan dengan krisis lagi?
Comments