top of page
Cari
Gambar penulisMachine Vision Indonesia

10 Mitos Pengembangan SDM di Profesi Supply Chain Management


Profesi supply chain management (SCM) sedang menghadapi krisis SDM yang mengancam kemampuan perusahaan untuk menciptakan ekosistem supply chain yang tangguh. Krisis kekurangan talenta ini didorong oleh banyaknya generasi baby boomers yang pensiun, kebutuhan keterampilan tentang SCM yang semakin meluas, dan efek kumulatif dari pengurangan jumlah karyawan selama bertahun-tahun. Semua faktor tersebut mengarah pada kekurangan karyawan dengan keahlian dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk menjaga perusahaan tetap kompetitif di tengah persaingan supply chain.


Banyak manajer senior mulai menyadari bahwa tantangan yang terkait dengan penempatan staf dan mempertahankan SDM yang diperlukan untuk memastikan keberhasilan perusahaan harus diatasi dengan menggunakan pendekatan baru yang lebih terprogram dan terintegrasi. Beberapa memperlakukan pengadaan dan pengembangan SDM dengan cara yang sama seperti mereka akan mengidentifikasi dan mengembangkan sumber barang dan jasa untuk memastikan kelangsungan ketersediaan talenta, dan membuat keputusan tentang apakah mereka akan memperoleh SDM dari sumber eksternal atau mengembangkan sumber daya yang ada.


Bagaimana seharusnya perusahaan mengembangkan saluran bakat untuk profesi SCM? Untuk memperoleh SDM yang bisa mengelola supply chain, perusahaan harus mengkombinasikan karyawan lulusan baru dengan profesional yang lebih berpengalaman. Keduanya harus bekerja bersama dan harus terus dikembangkan agar dapat memberikan nilai maksimal bagi perusahaan.


Namun sayangnya, sangat sedikit perusahaan yang benar-benar siap untuk melihat strategi kombinasi talenta ini sebagai aset strategis jangka panjang untuk diinvestasikan dan terus ditingkatkan. Selain itu, ada kesalahpahaman yang signifikan berkembang antara supply chain dan fungsi HR yang membatasi kemampuan perusahaan untuk sepenuhnya memanfaatkan potensi SDM mereka. Berikut merupakan 10 kesalahan persepsi yang saat ini menghambat pengembangan SDM di profesi SCM.


1. People development sepenuhnya tanggung jawab divisi HR.

Padahal sebenarnya divisi supply chain dan HR harus bekerja sama dalam membangun program pengembangan SDM yang efektif untuk memastikan tidak ada skill gap antar karyawan


2. ROI pengembangan SDM tidak bisa diukur.

Padahal sebenarnya ada hubungan antara investasi ke pengembangan SDM dengan profit perusahaan seperti halnya hubungan antara capex dan eskalasi penggunaan teknologi dengan performa keuangan perusahaan. Contohnya mempekerjakan seseorang dengan pengetahuan kritis dalam area fokus tertentu atau investasi dalam mengembangkan kompetensi dalam tim dapat berpengaruh pada performa perusahaan dan profit. Hanya saja hubungan tersebut seringnya tidak dijabarkan secara jelas. Salah satu cara untuk mengukur investasi ini bisa dengan mengaitkannya ke KPI.


3. Biaya investasi ke pengembangan SDM terlalu tinggi.

Kurangnya strategi yang tepat dan pengukuran yang diperlukan sebenarnya yang membuat investasinya terkesan mahal. Padahal perusahaan bisa menjalankan strategi lain. Misalnya, biaya pencarian dan pelatihan untuk menggantikan posisi profesional yang biasanya dua sampai empat kali gaji tahunan posisi tersebut bisa diganti dengan fokus pada pengembangan SDM dan mempertahankan karyawan yang sudah mereka miliki, dengan asumsi mereka memiliki kinerja yang baik. Namun, di sebagian besar perusahaan, setiap investasi dalam pengembangan SDM dihabiskan secara tidak proporsional untuk karyawan baru.


Pengeluaran untuk memperoleh dan mengembangkan SDM harus dilihat sebagai investasi dengan tujuan memaksimalkan pengembalian, dan harus diperlakukan seperti keputusan bisnis lainnya, lengkap dengan analisis biaya-manfaat yang kuat.


4. Dalam pengembangan SDM harus fokus ke pengetahuan teknis tentang supply chain saja.

Padahal nyatanya sangat penting agar karyawan SCM juga memahami area di luar lingkup supply chain. Supaya berhasil menjalankan strategi supply chain yang kompleks, karyawan harus memiliki pemahaman yang kuat tentang bagaimana SCM bersinggungan dengan fungsi dan proses bisnis lainnya untuk menciptakan nilai. Salah satu tujuan pengembangan keterampilan ini yaitu memastikan bahwa tim di SCM dapat bekerja secara efektif dengan divisi keuangan, akuntansi, pemasaran, dan organisasi internal lainnya untuk mencapai tujuan mereka.


5. Solusi pelatihan satu untuk semua adalah yang paling efektif.

Padahal strategi seperti ini kebanyakan malah tidak memberikan hasil. Pelatihan yang paling efektif adalah yang disesuaikan dengan kondisi dan tujuan perusahaan serta orang yang menerima pelatihan, yang mana sangat bervariasi. Keragaman ini memaksa mereka yang ditugaskan dengan pengembangan keterampilan SCM untuk menggunakan pendekatan pendidikan yang canggih untuk memastikan bahwa mereka benar-benar mendapatkan nilai yang mereka cari.


6. Lebih baik fokus pada satu sumber pelatihan.

Padahal seharusnya perusahaan mengkombinasikan berbagai macam metode dan sumber pelatihan baik internal maupun eksternal untuk memperluas pengetahuan dan wawasan karyawan tentang kondisi supply chain di luar sana.


7. Pelatihan harus selalu di dalam kelas.

Persepsi semacam ini masih bersifat sangat tradisional. Memang benar pembelajaran bisa dilakukan di dalam kelas, tapi ini bukan cara utama untuk mengembangkan keterampilan dan kemampuan mereka. Belajar terjadi secara terus-menerus, setiap hari, disadari atau tidak. Belajar juga bisa dilakukan dengan cara yang lebih modern dan menarik misalnya melalui digital learning experience menggunakan Learning Management System, Virtual Reality Training, dan Augmented Reality Training.


8. “Belajar sambil jalan”.

We learn as we go, memang tidak salah. Belajar sembari melakukan pekerjaan juga termasuk belajar. Tapi hal ini sering dijadikan alasan oleh orang-orang untuk tidak semangat meningkatkan keterampilan profesional mereka dengan benar. Bahkan manajer dan timnya yang tergolong “bagus” sering menggunakan alasan tersebut untuk menghindari mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memperbaiki diri. Bahkan jika karyawan mempelajari hal-hal baru setiap hari, bukan berarti mereka mempelajari hal-hal yang benar pada waktu yang tepat untuk membantu memajukan strategi bisnis yang ditetapkan.


9. Fokus menyelesaikan masalah lebih penting daripada melakukan pengembangan SDM.

Hal ini sangat sering ditemui. Alasannya biasanya tidak ada waktu untuk pelatihan karena banyak pekerjaan dan masalah yang harus diselesaikan agar aktivitas bisnis bisa berjalan. Padahal jika dibandingkan dengan perusahaan yang memilih untuk berinvestasi dalam pengembangan keterampilan karyawannya, perusahaan tersebut tidak hanya melihat peningkatan efisiensi dan pertumbuhan bisnis, tetapi mereka juga melihat peningkatan loyalitas dan dedikasi karyawan.


10. Sudah terlambat untuk memulai program pengembangan SDM di tengah jalan.

Tidak ada sesuatu yang terlambat. Menyusun strategi pengembangan SDM dan menjalankannya sekarang pun akan tetap memberi perusahaan Anda keuntungan di masa depan. Meskipun memang kelihatannya sulit karena banyak hal yang perlu disusun, namun bagi perusahaan yang mengelola SDM di supply chain mereka dengan baik akan merasakan dampak langsung pada peningkatan daya saingnya,



Mengelola SDM di supply chain memang sangat menantang sekaligus sangat penting. Dan yang perlu diyakini adalah bahwa manajemen bakat yang dikelola dengan baik akan menentukan apakah sebuah perusahaan akan bertahan dan berkembang dalam lingkungan global yang sangat menantang hari ini dan besok.





Artikel ini menyadur dari Supply Chain Quarterly


Postingan Terakhir

Lihat Semua

Comments


Ready to digitally transform your company? 

Discuss with us how our solution enables future digital growth in your company 

Screenshot_2022-11-14_at_11.54.24_AM-removebg-preview.png
bottom of page