Salah satu tujuan dari dibentuknya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yakni terciptanya pasar tunggal. Dimana melalui pasar tunggal ini diharapkan dapat mengurangi hambatan perdagangan barang dan jasa di kawasan ASEAN. Termasuk di dalamnya adalah pergerakan bebas para tenaga kerja terampil yang telah disepakati melalui mutual recognition agreement (MRA).
Yang dimaksud dengan pergerakan bebas pekerja yaitu bahwa para pekerja di kawasan ASEAN yang memiliki skill dan kualifikasi mumpuni bisa dengan mudah berkarir di seluruh negara ASEAN. Ini artinya, setiap orang di negara ASEAN memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja di kawasan ASEAN. Persaingan pasar tenaga kerja jadi semakin ketat. Mampukah Indonesia bersaing dengan SDM dari negara lain?
Masalah yang melanda Indonesia adalah kurangnya tenaga kerja terampil. Tak hanya perlu menciptakan tenaga kerja yang lebih terampil, Indonesia juga harus menyesuaikan keterampilan tenaga kerjanya dengan pola teknologi global yang baru serta demand atas skill terkait. Untuk bisa tetap kompetitif di pasar global, Indonesia perlu meningkatkan produktivitas para pekerja.
Meningkatkan produktivitas berarti meningkatkan kualitas pekerjaan yang tersedia. Meningkatkan kualitas pekerjaan sangat penting tidak hanya untuk meningkatkan produktivitas, tetapi juga untuk meningkatkan standar hidup dan untuk mengurangi kemiskinan. Pemahaman yang jelas tentang pasar tenaga kerja, transisi demografis dan angkatan kerja, serta investasi dalam pendidikan dan pengembangan keterampilan harus bisa membantu menciptakan dasar bagi pertumbuhan berkelanjutan untuk generasi berikutnya.
Tantangan utamanya adalah memastikan bahwa outcome dari pendidikan yang lebih baik bisa menciptakan lapangan kerja yang cukup berkualitas sehingga dapat meningkatkan produktivitas demi pembangunan yang cepat dan lebih inklusif. Untuk itu, saat ini Indonesia sedang berjuang menyelaraskan antara pembelajaran di sekolah dan pelatihan vokasi dengan skill yang dibutuhkan industri.
Seiring dengan perkembangan digitalisasi, otomatisasi, dan robotika yang mengubah dunia kerja, industri pun turut berubah dengan cepat. Banyak orang yang meyakini bahwa standar kompetensi yang diajarkan di sekolah-sekolah dan tempat pelatihan harus mencerminkan keterampilan yang akan dibutuhkan perusahaan di masa depan. Selain itu, materi-materi pelatihan ataupun pembelajaran harus fleksibel dan dapat berkembang. Pengembangan skill yang berkelanjutan dapat membantu memenuhi tuntutan lingkungan kerja yang berubah dengan cepat.
Adanya keterlibatan industri untuk meningkatkan pengalaman transisi dari instansi pendidikan ke pekerjaan melalui kerja praktek dan magang juga dapat membantu mengatasi ketidakcocokan antara keterampilan dan kebutuhan skill.
Jika strategi ini terus berlanjut dan diimplementasikan dengan baik, maka angka kekurangan tenaga kerja terampil bisa ditekan tidak hanya di Indonesia tapi juga seluruh ASEAN. Studi dari ILO dan ADB di tahun 2014 yang menyatakan bahwa pada tahun 2025 lebih dari separuh pekerjaan (sekitar 25,6 juta pekerjaan) berketerampilan tinggi di Kamboja, Indonesia, Laos, Filipina, Thailand, dan Vietnam dapat diisi oleh pekerja tanpa kualifikasi yang memadai.
Selain itu dengan adanya program MEA berupa pengakuan sertifikasi profesional dan akreditasi dengan seluruh negara anggota, sangat mudah bagi pekerja Indonesia untuk bersaing di regional. Terlebih di era revolusi industri 4.0 sekarang dimana para tenaga kerja bisa beralih ke migrasi virtual sehingga tidak harus bermigrasi ke negara tujuan untuk bisa memperoleh pekerjaan.
Referensi
Skilled Labor Mobility and Migration: Challenges and Opportunities for the ASEAN
Economic Community, Asian Development Bank, 2019
Comments