Penyebaran virus corona atau COVID-19 yang semakin luas membawa kepanikan bagi para pelaku usaha. Industri manufaktur menjadi yang paling terdampak atas pandemi virus ini. Tak hanya karena industri ini memerlukan perpindahan arus barang secara fisik, tapi juga sebagian besar kegiatan ekspor-impor bergantung pada Cina. 30% bahan baku yang digunakan Cina merupakan hasil impor dari Indonesia.
Terbatasnya akses pasar ini nantinya akan membuat banyak pengusaha memutuskan untuk mengurangi kapasitas produksi hingga menghentikan usahanya sementara waktu. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan guna mengantisipasi terjadinya kerugian dan ketidakstabilan arus kas perusahaan. Dari tindakan-tindakan ini dapat membawa dampak negatif terhadap kinerja pertumbuhan ekonomi, kinerja ekspor, current account deficit (CAD), kinerja fiskal, dan aliran modal di Indonesia. Selain itu, downsizing bukan suatu hal yang tidak mungkin terjadi jika perusahaan melakukan penurunan kapasitas produksi maupun penghentian sementara.
Untuk mengantisipasi dampak negatif yang dirasakan para pelaku usaha, Jumat (13/03) kemarin Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati luncurkan stimulus fiskal jilid II. Fokus dari stimulus fiskal ini ada pada industri manufaktur dan kemudahan ekspor-impor. Stimulus fiskal jilid kedua ini rencananya akan meningkatkan defisit APBN sebesar 2,5% dari PDB dengan nilai Rp 120 triliun. Strategi ini, ujar Sri Mulyani, dilakukan sebagai bentuk perlawanan atas pelemahan ekonomi domestik akibat corona.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa paket stimulus fiskal ini mencakup empat jenis pajak. Semua paket ini diharapkan dapat dilakukan dalam jangka waktu 6 bulan mulai April hingga September. Adapun keempat jenis pajak yang termasuk dalam paket stimulus fiskal antara lain:
1. Relaksasi PPh 21 melalui skema Ditanggung Pemerintah (DTP) kepada seluruh sektor industri pengolahan. Diberlakukan untuk karyawan dengan gaji di bawah Rp 200 juta/bulan. Relaksasi PPh 21 ini dimaksudkan agar para pekerja yang perusahaannya terdampak bisa menerima tambahan upah sehingga daya beli mereka tetap stabil.
2. Relaksasi PPh 22 impor untuk 19 sektor di industri pengolahan dan Kemudahan Impor untuk Tujuan Ekspor (KITE). Insentif ini dimaksudkan untuk mempermudah industri manufaktur dalam mengimpor bahan baku guna memenuhi produksi
3. Relaksasi PPh 25 dengan bentuk pengurangan pajak korporasi sebesar 30% untuk industri pengolahan. Dengan adanya stimulus ini, perusahaan dapat menggunakan uang mereka untuk menjaga stabilitas arus kas.
4. Relaksasi restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) berupa bebas audit dan tanpa plafon untuk 19 industri tertentu. Insentif ini memungkinkan percepatan restitusi PPN bagi industri-industri yang telah ditentukan.
Selain stimulus fiskal, pemerintah juga memberikan stimulus non-fiskal yaitu: penyederhanaan / pengurangan Lartas (larangan terbatas) ekspor untuk meningkatkan kelancaran ekspor dan daya saing produk ekspor; penyederhanaan / pengurangan Lartas impor untuk meningkatkan kelancaran impor bahan baku; percepatan proses ekspor-impor untuk Reputable Trader dengan cara membedakan perlakuan layanan / pengawasan kepada 625 perusahaan Mitra Utama Kepabeanan (MITA) dan 109 perusahaan Authorized Economic Operator (AEO); serta percepatan proses ekspor-impor melalui National Logistics Ecosystem.
Comments